Keluarga itu apa sih?
Sebenernya arti suami istri itu apa sih?
Kadang-kadang muncul pertanyaan seperti itu di benak saya. Bukan berarti keluarga kami tak pernah kena badai, bukan berarti badai besar juga sih, tapi saya terkadang terlalu sentimental untuk urusan keluarga (esp. suami dan istri). Sebenarnya sejak sebelum menikah, saya merasakan kegundahan, apakah menikah adalah pilihan yang tepat? Apa saya mampu? Dan saat itu saya merasa cukup yakin dengan jawaban yang (calon) suami saya berikan. Jawaban berupa puisi atas pertanyaan saya tentang “masa depan”.
Selama 3 tahun kami tinggal terpisah, saya di Yogyakarta dan ia di Jakarta. Urusan pekerjaan. Long distance marriage. Berat. Apalagi saat saya mengandung dan bayi kami masih kecil. Saat-saat malam bayi kami rewel dan saya hanya sendirian. Apalagi jika baby sakit, atau saya yang sakit, atau mas yang sakit. Tapi saya masih bisa bersabar. Ketika kami akhirnya memutuskan bahwa mas akan pindah ke jogja, namun jalan-jalan mutasi tampak tertutup, maka keputusan besar dipilih mas, Resign.
Bukan keputusan mudah karena status mas yang PNS. Bagi banyak orang di masyarakat, mundur dari PNS itu seperti mustahil, sayang banget, dan keputusan ceroboh serta tidak tahu diri. Keluarga mas pun kebanyakan PNS, maka pertentangan dari keluarga sangat besar. Ortu saya memilih netral, karena bagaimanapun yang menjalani adalah kami, maka keputusan itu harus berasal dari diri kami sendiri. Kalau dipikir, Bapak saya itu lucu juga ya, kalau suami saya tidak kerja berarti kehidupan saya terancam terlunta-lunta dong? Tapi Bapak bilang bahwa pekerjaan itu banyak dimana-mana, jadi tak perlu khawatir. Lagipula dengan ijazah dari univ sekelas UGM, dari jurusan yang banyak diminati, Komsi, maka peluang kerja di jogja pun sebenarnya besar. Alhamdulillah, di tengah kemelut itu, Allah menjawab doa-doa kami. Ada lowongan pekerjaan di UGM dan akhirnya suami saya diterima bekerja sebagai staff di salah satu unit baru di UGM.
Maka, sejak pertengahan 2013, mas resmi resign dari PNS. SK-nya sudah keluar, namun kami belum sempat ke Jakarta untuk mengambilnya.
Apakah suami istri itu berarti dua orang yang tinggal di rumah yang sama, terikat dengan ijab kabul? Terkadang saya merasa bahwa komunikasi kami sebagai suami istri itu tidak bagus. Beberapa kali saya ngambek dan marah-marah. Sebenarnya gimana sih hubungan suami-istri orang-orang yang lain? Apakah istri sering marah? Apakah suami sering marah?
Dengan semua perjuangan kami di awal pernikahan, kadang saya gundah, apakah suatu saat jika kami sudah mapan, ia akan berpaling? Bahkan, jangankan suatu saat, apakah kini ia masih mencintai saya? Apakah saya cantik di matanya? Pertanyaan itu sering saya ucapkan. Dan saya tidak pernah mendapat jawaban yang tuntas sebagaimana dulu ia meyakinkan saya tentang masa depan ketika ia melamar saya. Dan saya tidak pernah yakin benar dengan jawabannya kini.
Termasuk cerita dari beberapa rekan, mengenai keputusan suaminya untuk poligami. Poligami tidak haram, memang. Tapi poligami juga tidak wajib toh. Jika hanya akan menimbulkan luka, mengapa tidak dihindari. Apakah suaminya lupa, bahwa pada masa-masa sulit, yang banyak berkorban adalah istrinya? Dan saya melihat, keputusan poligami sering muncul setelah suami merasa mapan. Punya uang. Meski suami saya selalu cemberut setiap saya menawarkan untuk menikah lagi. Ia selalu bilang, TIDAK AKAN. Tapi saya selalu sinis mendengar jawaban khas lelaki macam itu. Jawaban itu tidak membuat saya lelah untuk bertanya..
Apakah saya menyesal memutuskan menikah? TIDAK. Tapi fitrah muncul kegundahan selama perjalanan bahtera kecil kami. Saya hanya ingin didengar, saya hanya ingin merasa aman di hatinya. Apakah saya salah terlalu merisaukan hubungan kami? Tapi yah, ada beberapa hal yang memang membuat saya bimbang. Terkadang masalah ini membuat saya tertekan. Beberapa kali saya mengusulkan untuk pergi ke psikolog. Mungkin benar, bahwa saya membutuhkan bantuan. Saya merasa bahagia dengan pernikahan saya, namun ada saat-saat saya membutuhkan pertolongan, dan sulit mencari kepada pihak mana saya bisa bercerita. Ya, kita punya Allah sebagai tempat untuk bercerita, namun harus diakui, ada seseorang yang mendengar cerita kita akan membantu mengangkat beban di hati.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil.. Mungkin ini saat saya harus berjuang dalam pernikahan kami. baru 4 tahun. mungkin karena baru setahunan kami benar-benar tinggal bersama, inilah masa-masa kami harus benar-benar menyesuaikan diri. Bismillah..