Mengapa Saya Memilih Pamit Dari Harokah Dakwah

Beberapa hari yang lalu, kawan lama suami saya yang sangat ia hormati datang berkunjung ke rumah. Sebenarnya saya sudah sering mendorongnya untuk mengunjungi kawan-kawan lamanya, terutama sejak suami saya akhirnya menetap di Jogja. Kami punya Sabtu dan Ahad untuk dinikmati. Tidak seperti dulu ketika ia masih bekerja di Jakarta. Sabtu lelah karena baru sampai rumah setelah menempuh 12 jam lebih perjalanan. Ahad resah karena harus mengejar bus/kereta sore untuk berangkat ke Jakarta lagi. Tapi mungkin ia mau balas dendam atas lelahnya perjalanan dulu, ia menikmati Sabtu dan Ahad sebagai waktu keluarga. Di sore hari Sabtu kami sering pergi belanja dan menikmati kebersamaan bersama putri kecil kami. Jadi suami saya sering menunda keinginan untuk mengunjungi kawan lama. Lagipula takut mengganggu, bisa jadi kawan-kawannya ada agenda.

Saya pribadi masih sering stay connected dengan kawan-kawan saya. Beberapa kawan yang sangat dekat dengan saya masih menjalin komunikasi. Saya juga mengunjungi beberapa rumah/kosan mereka. Saya tidak ingin persahabatan kami putus hanya karena suatu hal: harokah. Ya, sahabat lama suami saya berkunjung ke rumah untuk membahas hal tersebut.

Kami berdua dulu aktif di suatu harokah dakwah tertentu (ga usah sebut nama, ntar dikira black campaign). Status kami sudah anggota dan saya juga punya adik-adik untuk dibina. Harokah tempat kami bergabung memiliki suatu konsep bernama tabanni, yaitu serangkaian ide-ide yang harus diambil tanpa tapi. Serangkaian ide tersebut melekat kuat dalam benak anggota harokah setelah melalui proses pembinaan yang sangat intensif. Sebuah ide bisa dibahas hingga setahun lamanya dimana setiap minggunya wajib ada kajian, sehingga dapat dibayangkan betapa kuatnya ide itu dalam benak anggota harokah tersebut. Oleh karena itulah, harokah tersebut menganggap bahwa harokah itu berbasis pemikiran. Bukan sembarang pemikiran, tetapi pemikiran yang cemerlang. Kenyataannya, dengan cara-cara pembinaan yang seperti itu, yang dihasilkan adalah individu yang sangat hizbiyyah, sangat ashobiyah. Segala ide yang wajib ditabanni, adalah ide Islam yang paling benar, dan masyarakat harus didakwahi oleh ide tersebut. Sehingga ide yang bertentangan dengan ide yang ditabanni adalah ide yang salah. Hal inilah yang mendorong harokah ini untuk bersikap frontal terhadap sesama harokah dakwah dengan ide yang berbeda dari mereka. Tak jarang justru menimbulkan konflik internal dalam diri kaum Muslim.

Sejak saya masih belum anggota, masih dalam masa pembinaan intensif untuk menanamkan ide (disebut sebagai “pelajar”), saya termasuk pelajar yang kritis. Berbagai ide saya kritisi dan ternyata… saya dikategorikan sebagai pelajar yang “bengal”. Sempat saya mengetahui ada pembina yang menasihati adik binaannya sesama pelajar (tapi tidak sekelompok dengan saya) agar tidak banyak berdiskusi dengan saya. Wauw… Luar biasa sekali ya.. Sempat pembina saya (disebut sebagai musyrifah, artinya penjaga) dibuat pusing memikirkan pertanyaan dan protes saya atas beberapa kejadian di internal harokah tersebut. Tapi saya salut, karena dari sekian musyrifah yang pernah membina saya, beliau adalah orang yang sangat kuat menjaga saya. Berbagai pertanyaan saya dijawab dengan sekuat tenaganya. Ia mampu meyakinkan saya untuk menetapi jalan “lurus” dalam harokah itu. Dan saya pun akhirnya memantapkan diri menerima ide-ide harokah tersebut.

Pun, setelah saya memantapkan diri menerima ide-ide harokah tersebut, sering terpikirkan beberapa pendapat yang menurut saya salah. Beberapa pendapat saya, saya rasa sangat kuat. Namun selalu ada jawab dari musyrifah saya. Sampai puncaknya, saya ditegur oleh penanggung jawab harokah itu untuk wilayah dakwah tempat saya bergabung, saya ditegur, kira-kira beliau berkata, “sheila mau bertanya atau mempertanyakan?”. Bahkan beliau sempat berkata, mana yang saya percaya, pemimpin partai atau kata si x, yang sudah dikeluarkan dari partai?. Waw, saya tak menyangka.. Karena beliau yang menegur saya adalah seseorang yang sangaat saya hormati.

apa sih ide-ide yang saya pertanyakan? Lumayan banyak, mulai dari permasalahan hilal global, over populasi yang diyakini adalah upaya genosida kaum Muslim, status Syiah dalam Islam, hingga bagaimana memperbaiki masyarakat. Termasuk juga bagaimana pandangan anggota hizb terhadap Muawiyah, dan pembagian aktifitas menjadi kewajiban individu, partai, negara, dan masyarakat, kemudian jenis-jenis pemikiran yang ditabanni hizb. Hingga kultur di dalam hizb yang tidak menghargai tradisi keilmuan dalam Islam, dimana tulisan dinisbatkan seenaknya untuk orang yang bukan penulisnya (saya tidak asal bicara, saya tau faktanya, bukan hanya kitab asli yang sudah direvisi, tetapi berbagai makalah). Kalau Anggito Abimanyu berani mengundurkan diri dari UGM karena kasus seperti ini, hal ini justru jadi budaya dalam harokah tersebut. Puncaknya adalah ketika saya membaca tulisan-tulisan dari Idrus Ramli. Tulisan yang langsung saya iya-kan! Benar, dalam hati saya, saya mengakui tulisan tersebut. Tulisan yang jika dibaca dengan ego ashobiyah akan dicari jawabannya secara membabi buta. Banyak hal, perjuangan dalam masyarakat yang tidak pernah dipandang oleh hizb. Salah satu keberatan saya atas pandangan hizb mengenai bagaimana mengubah masyarakat. Banyak hal yang tidak dianggap hizb sebagai upaya, sebagai perjuangan, sebagai pengorbanan dalam membangkitkan masyarakat, alih-alih justru dicap sebagai pragmatisme.

Oke, setelah melihat respon dari beberapa orang yang saya pertanyakan masalah-masalah itu, saya sampai pada keputus asaan, saya diam. Saya tidak lagi bertanya. Bahkan sampai ada pembahasan saya seputar boikot, saya hanya menyampaikan ke segelintir orang dan saya putuskan untuk tidak lagi mempertanyakan. Masih sering saya dengar adanya anggota hizb yang mencela boikot. Berkata bahwa boikot tidak akan membawa perubahan. Silahkan baca di blog saya, ada tulisan tentang boikot. Bahkan hingga saya menunjukkan tulisan pendiri partai tentang boikot, tetap saja responnya tidak seperti yang saya harapkan. Hanya dua orang sahabat saya yang setelah membaca tulisan pendiri partai kemudian meng-iya-kan mengenai boikot.

Lama saya diam tanpa bertanya, bertingkah menjadi good girl. Saya mengaji kitab pertama setelah menjadi anggota lama sekali. Diulang 3 kali karena lompat-lompat seiring pindahnya lingkungan dakwah saya. Saya hafal betul isinya, dan dalam kajian, saya tidak banyak bertanya. Kajian mengulang yang terakhir berjalan sangat parah. Isi buku hanya dibaca berulang-ulang. Bahkan saat pembahasan munculnya hadist palsu, betapa malasnya pembina forum untuk mempelajari sebab-sebab munculnya hadist palsu. Hanya yang tertulis di buku saja. Terkadang, karena begitu memuakkannya forum, saya melontarkan pertanyaan nakal. Pertanyaan yang saya harap membuat mereka berpikir. Hal ini, pertanyaan-pertanyaan ini, sesuatu yang dikemudian hari dijadikan jembatan penghubung oleh pembina saya, mengapa saya mengkhianati ide partai.

Hingga akhirnya dalam suatu pembinaan yang saya pegang, saya keceplosan menyampaikan pendapat saya! Pendapat saya mengenai bagaimana mengubah masyarakat, bagaimana memandang harokah lain dengan setara, bagaimana memandang amal yang menurut hizb sebagai amal pragmatis. Dan adik-adik yang saya bina kemudian menyampaikan apa yang saya sampaikan dalam suatu acara. Hingga akhirnya pemirikan tersebut “diluruskan” oleh pelajar yang lain. “Diluruskan”!

Saya tahu, saya harus keluar dari partai. Sebabnya 2 hal, untuk kebaikan saya dan untuk kebaikan partai. Kebaikan saya, karena dengan berkata-kata dengan ide partai sementara hati saya mengingkarinya, berarti saya nifaq. Astaghfirullah… Artinya perjuangan saya membina adik-adik, akan menjadi sia-sia. Untuk kebaikan saya, saya seharusnya menyampaikan apa yang saya yakini dengan mantap dengan hujjah-hujjah yang saya telusuri dan saya anggap paling kuat. Dan untuk kebaikan partai, adalah sangat berbahaya jika ada seseorang dalam partai yang membina adik-adik pelajar sementara pemikirannya telah melenceng dari pemikiran partai. Maka bisa jadi adik-adik yang saya pegang pemikirannya juga ikut “melenceng”. Dalam tangis saya saat dialog dengan suami (suami saya juga tidak sepakat dengan beberapa pemikiran partai, seperti status syiah, konsep tabanni, dan porsi aktivitas dakwah wanita), saya selalu berkata sudah waktunya saya pamit dari partai yang membesarkan saya.

Akhirnya saya memutuskan untuk pamit. Herannya, hanya satu kali dialog yang terjadi, saat saya pamit. Dan di situ saya dicap mengkhianati ide partai. Saya disalahkan. Herannya, tak ada introspeksi dari dalam partai, atau menimal dari pembina saya. Herannya, kami bahkan belum mendiskusikan pemikiran apa saja yang saya tentang. Seolah-olah saya dicap salah, melenceng dan tiada guna berdiskusi dengan saya. Bahkan ketika HS terakhir yang saya ikuti, membahas bahwa isu over populasi adalah genosida bagi kaum Muslim dan saya keberatan atas judgement itu (bagaimanapun, over populasi bukan hanya isu yang disebar di dunia Islam saja!) saya hanya diberi jawaban, beginilah berpikir politis, bagi orang yang tak bisa berpikir politis, tak akan bisa menangkap genosida tersebut. Oh, maaf, saya akademisi, saya tidak bisa menisbatkan suatu hal (genosida) tanpa alur yang logis. Saya tidak akan meng-iya-kan, hanya karena yang berkata adalah petinggi partai! (Sama halnya dengan isu imunisasi). Pertanyaan saya di HS itu, kemudian pada hari saya pamitan, dianggap sebagai tanda bahwa saya “melenceng”. Pada hari saya berpamitan, pembina saya berkata, “tampaknya bukti apapun yang mbak kemukakan tidak akan dapat mengubah pemikiran sheila, sekalipun bukti-bukti itu sudah jelas.” Perkataan itu tidak spesifik untuk kasus tertentu yang saya pertanyakan, tapi saya tahu perkataan itu merujuk pada HS terakhir dimana saya sampai akhir HS tidak menerima teori genosida. Bukti-bukti sudah jelas? Perkataan itu menunjukkan sebaliknya, betapapun saya berusaha untuk menyampaikan, betapa pun saya berusaha untuk kritis, suara saya tidak akan sampai ke hatinya.. Suara saya tidak akan sampai.. Karena menurutnya bukti-bukti itu sudah jelas.. Sudah jelas karena yang berkata petinggi partai. (Saat ini, pemikiran tentang anti-imunisasi telah mulai ditentang dan imunisasi mulai diterima oleh internal partai, karena yang menyuarakan penentangan adalah juga petinggi partai yang lain setelah sebelumnya ada petinggi partai yang menyuarakan anti-imunisasi).

Sebelum saya resmi pamitan, beberapa hari sebelumnya saya menemui sahabat dekat saya. Orang yang bersama saya mengaji sekelompok sejak kami masih kecil, semester 2 kuliah. Yang kini hampir mengkhatamkan hafalan Qur’annya di suatu pondok di Demak. Saya berkata bahwa betapa saya sangat menyayangi saudara-saudara saya yang selama ini berjuang bersama di hizb. Betapa saya tidak ingin, setelah saya pamit, saya dianggap makhluk bersalah yang bukan saudara lagi. Alhamdulillah, orang-orang yang saya sampaikan langsung alasan saya pergi, adalah orang-orang yang hingga hari ini masih bersikap akrab sebagai sahabat terhadap saya. Meski, dari seorang sahabat, saya mendengar, bahwa menurut berita yang beredar di lingkungan partai, alasan keluarnya saya adalah karena KESIBUKAN. Karena saya sudah bekerja, menjadi dosen. Sibuk ini itu. Punya Keluarga, punya anak. Astaghfirullah.. Betapa berbedanya..

Hanya mereka yang saya ceritakan langsung yang mengerti alasannya. Beberapa memahami alasan saya, dan beberapa menyalahkan saya. Ya, saya tau, tidak semua sahabat saya adalah orang yang open mind. Mereka yang ashobiyah akut akan langsung menyalahkan saya. Mereka yang proporsional akan mengakui bahwa partai juga perlu berbenah. Betapa minimnya bacaan tsaqofah Islam dari ulama selain ulama partai. Suatu saat akan saya tulis, bagaimana perubahan wawasan dan sudut pandang yang saya peroleh setelah melepaskan diri dari ikatan partai. Saya merasa sudut pandang saya meluas. Tetap dalam lingkup Islam, tidak liberal, namun dapat menyikapi berbagai perbedaan yang ada. Setiap orang punya perjuangannya. Setiap orang punya peran dalam hidupnya. Peran itu, yang jika dilakukan dengan serius akan menghantarkan pada amal shalih yang bernilai di sisi Allah.. Tidak bisa kita katakan, ia belum berdakwah, karena ia tak pernah mendengungkan dan meneriakkan Khilafah, padahal ia selalu ada dalam counter kristenisasi. Tidak bisa kita katakan, ia belum berdakwah, karena ia tak pernah mendengungkan dan meneriakkan Khilafah, padahal ia selalu ada dalam pengajaran tafsir Al-Qur’an. Ya, semua perjuangan ada nilainya. Kini saya tak khawatir apa penilaian partai. Allah yang akan menilai semuanya. Penilaian partai yang menilai bahwa itu belum dakwah yang mustanir, itu dakwah yang pragmatis, itu dakwah yang tidak menyeluruh, justru menunjukkan bahwa lingkup partai yang dulu saya ikuti sangat kecil.. Saya tidak berharap macam-macam, tetapi seandainya saja, ada yang membaca tulisan saya dan membuka mata hatinya. Membuka mata bathinnya atas perjuangan bermacam-macam orang dalam masyarakat, dan ikut serta meluaskan hati dan pikirannya. Semoga tidak ada lagi ashobiyah kepartaian.. Amin.

Leave a comment